GUNUNG GEDE DAN ROMANSA 6 SEKAWAN
- Sarah Z. Khairunnisa
- Dec 4, 2017
- 12 min read
Tulisan kedua saya ini akan menceritakan pengalaman pendakian Gunung Gede, dengan ketinggian 2958 mdpl, yang dilakukan selama 3 hari 4 malam (dari 2 Juni hingga 5 Juni 2015). Seperti biasa, ide awal pendakian ini muncul untuk mengisi libur semester. Terlebih ada yang sedang patah hati dan membutuhkan refreshing untuk menstabilkan kedamaian jiwanya (Oops!). Sebelumnya, perkenalkan para sahabat saya yang menemani perjalanan ini. Mereka adalah Rangga, Ebe, Irfan, Eka, dan Adry. Mungkin pos ini akan tersurat sedikit emosional, karena Ebe dan Irfan juga Eka dan Adry are couples sedangkan saya dan Rangga, saling menitipkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Hahaha.

(Ini foto candid di tengah perjalanan. LOL maaf Rangga ;P)
Oke, kita mulai.
Berdasarkan sumber yang saya ambil dari wikipedia, Gunung Gede berada di wilayah tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dengan ketinggian 1.000 - 3.000 mdpl. Suhu rata-rata di puncak gunung Gede sebesar 18 °C dan di malam hari, suhu puncak berkisar 5 °C dengan curah hujan rata-rata 3.600 mm/tahun. Adapun gerbang utama menuju gunung ini adalah dari Cibodas dan Cipanas.
Hal yang membuat spesial dari Gunung Gede ini adalah, gunung ini berada dalam ruang lingkup Taman Nasional Gede Pangrango. Taman nasional ini merupakan salah satu dari lima taman nasional yang pertama kali diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. Karena berada dalam kawasan konservasi, maka sebelum mendaki, kami harus mengurus SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi). Rangga ditemani saya pergi ke Bogor tepat satu minggu sebelum keberangkatan untuk mengurusnya (26 Mei 2015). Kesempatan ini juga saya pakai bersama beberapa teman lain yang menemani ke Bogor untuk berwisata ke Taman Safari Indonesia (boleh juga nih ditiru sambil mengurus SIMAKSI). Sebagai informasi tambahan, SIMAKSI dapat juga dilakukan secara online dengan membuka link ini.
Kondisi geografis secara umum Gunung Gede ini diselimuti oleh hutan pegunungan, yang mencakup zona submontana, montana, hingga ke subalpin di sekitar puncaknya. Ada pun ekosistem yang ditemui adalah danau, rawa, dan savana. Kemudian hutan pegunungan di kawasan ini merupakan salah satu yang paling kaya jenis flora di Indonesia, bahkan di kawasan Malesia. Gunung Gede terkenal kaya akan berbagai jenis burung, yaitu sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa. Beberapa jenis di antaranya merupakan burung langka yaitu elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan celepuk jawa (Otus angelinae). Sedangkan untuk jalur pendakian, Gunung Gede mempunyai tiga jalur resmi yaitu Cibodas, Gunung Putri, dan Selabintana. Terakhir sebagai pelengkap, alasan untuk mendaki gunung ini yaitu: Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir pada tahun 1977 dan sebagai Sister Park dengan Taman Negara.

(Kiri-kanan: Ebe, Rangga, Sarah, Irfan-di belakang, Eka, dan Adry-yang motoin)
Dan inilah perjalanan dan romansa 6 sekawan dalam penjelajahan kali ini…
Pertama-tama, saya akan menceritakan persiapan sebelum menyentuh kaki Gunung Gede. Saya, Rangga, Ebe, dan Irfan sempat melakukan latihan daya tahan dengan berjalan kaki menelusuri Taman Hutan Raya Dago di Bandung. Lumayan, hitung-hitung refreshing sambil mempersiapkan kondisi fisik dan juga gladi resik membuat nasi liwet.
Hari-H, kami menetapkan rumah Ebe (lokasi di Antapani) sebagai basecamp. Perjalanan dari Bandung ke Bogor dihabiskan dengan menggunakan bis kota. Pertama-tama, kami memesan angkot antapani untuk tiba di Terminal Leuwi Panjang (dengan biaya sebesar 60ribu rupiah). Kami pun berangkat selepas solat isya. Namun sayangnya setelah tiba di Terminal Leuwi Panjang, kami harus menunggu selama 2.5 jam untuk mendapatkan bis. Sampai akhirnya kami menaiki bis dengan jam keberangkatan paling malam di hari itu (pukul setengah 12 malam). Sebenarnya kondisi bis yang kami tumpangi cukup memprihatinkan. Dengan biaya 35ribu per orang, kami pun beranjak menuju Bogor sambil tidur di bis biru ini dengan tidak lupa banyak berdoa dalam perjalanan.
Dan perasaan salah seorang dari kami pun seperti menggantung di tengah hati yang sedang luka namun mencari kebebasan…
Di tengah perjalanan, kami harus mengganti bis di Simpang 4 Cianjur. Kemudian sampailah kami di pertigaan Cibodas pada pukul 02.55 dini hari. Untuk tiba di gerbang masuk Gunung Gede, kami memesan angkot dari pertigaan Cibodas. Dengan angkot itu, kami melewati jalanan yang menanjak untuk memulai tanjakan ribuan meter lainnya. Biaya yang dikeluarkan untuk memesan angkot adalah sebesar 90ribu rupiah untuk 6 orang. Adapun jalur pendakian kami adalah naik-turun dengan jalur Cibodas dan Gunung Puteri.
Kemudian sampailah kami di gerbang "Selamat Datang Taman Nasional Gede Pangrango". Kami bersiap dengan meminum tolak angin (sirup andalanku :9) dan makan nasi goreng yang telah dibawa dari Bandung, di depan toko-toko yang menjual oleh-oleh khas kawasan Gede Pangrango. Ternyata di jam-jam dini hari seperti ini, kami melihat ada banyak rombongan lain, baik yang baru mau mendaki mau pun yang sudah turun.
Kami memulai perjalanan dini hari yang gelap ini dengan berdoa bersama dan mempersiapkan headlamp masing-masing. Awalnya, kami melewati sebuah lapangan luas yang saat itu sedang digunakan untuk berkemah. Kami juga sempat kelewatan pintu gerbang menuju Basecamp Cibodas (pos 1) karena kondisi yang gelap gulita. Hingga akhirnya tibalah kami semua di pos 1. Disana, petugas menanyakan kembali kesiapan kami dan memeriksa SIMAKSI. Menanyakan tentang jumlah rombongan, apakah membawa senjata tajam seperti golok atau tidak, dan kecukupan kantong plastik sebagai tempat sampah. Saat itu, salah satu rekan kami, Irfan yang masih memakai sandal gunung, dipaksa untuk menggantinya dengan sepatu (ini wajib!). Di pos 1, kami juga sempat mengambil air wudhu karena sebentar lagi akan masuk waktu subuh. Kebetulan ada wc juga disana, but watch what your expectation.
Kondisi jalan yang dilalui terasa seperti kawasan konservasi, dengan bebatuan yang tersusun rapi membentuk anak-anak tangga. Namun, di sisi kanan dan kiri sudah lebat dengan pepohonan. Saya sendiri banyak berdoa di dalam hati dan mencoba membuang semua pikiran-pikiran tentang hantu dan hewan buas seperti ular. Sumpah, ga berani dan gamau lagi jalan di tengah hutan saat gelap >.< Setelah berjalan kurang lebih selama setengah jam, kami pun melaksanakan solat subuh berjamaah di sebuah pos kecil yang bentuknya seperti saung terbuka.
Setelah mentari mulai muncul, kawasan yang kami lewati mulai terang dan udara segar ala hutan tropis pun menemani saya melanjutkan perjalanan. Kali ini saya sudah kembali percaya diri karena tidak takut lagi dengan kondisi hutan yang gelap gulita. Hingga akhirnya, sampailah kami di Rawa Gayonggong. Tentu saja kami tidak benar-benar berjalan di atas tanah berlumpur dari rawa ini, karena terdapat jembatan kayu yang nyaman dan sangat eye-catchy. Bahkan kami sempat menaruh carrier dan berfoto dengan background gunung Pangrango yang bagus untuk dinikmati. Belum apa-apa, puncak Pangrango sudah ada di depan mata.

(Jembatan kayu di Rawa Gayonggong)

(Tropical forest, so lovely)
Tetapi, apa kalian tau isi tulisan papan pengumuman sebelum memasuki daerah rawa ini? (Karena tidak sempat, foto ini diambil dari google).

("...daerah jelajah Macan Tutul...")
Kesempatan untuk berfoto juga digunakan sebagai waktu istirahat. Namun tidak lama setelah itu, kami melanjutkan kembali perjalanan dan mulai memasuki daerah hutan. Setelah beberapa waktu, kami pun berhenti di sebuah pos yang tidak terawat (banyak sampah dan lebah!). Disana kami membuat makan siang, memasak mie, dengan diganggu oleh lebah-lebah yang tertarik dengan aroma tisu basah untuk keperluan memasak. Pos tempat kami berhenti disini dekat dengan pertigaan yang mengarah kepada air terjun. Ada juga beberapa orang yang memang sengaja memasang tenda di daerah ini.
Perjalanan pun berlanjut… Setelah menempuh perjalanan 5,3 km atau 2 jam perjalanan dari Cibodas, tebak apa yang kami temukan selanjutnya!!! Sebuah sungai kecil yang sempit dan licin, di pinggir jurang dengan beberapa air terjun kecil yang suhunya panas. Ya, panas bukan hangat. Mungkin bukan sungai juga. Mungkin wilayah ini tadinya jalan setapak yang karena terlewati air terus menerus, menjadi semacam solokan yang tidak terlalu lebar. Tentu saja kondisi ini sangat kami nikmati sekaligus untuk memberikan refleksi pada kaki-kaki kami yang kewalahan. Di tengah-tengah momen santai sambil mengambil beberapa foto, di sungai setapak ini kami pun harus berpindah tempat, karena ada beberapa orang yang sedang menggiring temannya dengan kondisi yang terlihat lemas. Usut punya usut, kabarnya mas tersebut terkena hipotermia. Gosh, di tengah kondisi hati dan pikiran yang agak kacau, aku pun sedikit ketakutan dengan perjalanan ke depan yang akan dihadapi.

(Mulai buka sepatu, buru-buru rendem kaki)
Solokan air panas pun kami lalui dengan hati-hati untuk melanjutkan perjalanan. Kalo diinget-inget, rasa cape dan semua keluhan sudah hilang berkat suguhan alam ini. Dan sampai sekarang, masih jelas terekam semua suasana, seperti uap air panas yang terbawa hembusan angin dari pinggir jurang serta telapak kaki yang menikmati panasnya air yang turun dari dinding bebatuan. Tak lama, kami bertemu kembali dengan sekelompok orang yang menggiring temannya dengan kondisi kakinya digips menggunakan kayu seadanya. Aku ga yakin apa yang terjadi. Mereka terlihat terburu-buru. Semoga saja mereka dapat dengan mudah melalui solokan yang licin tadi dengan kondisi seperti itu.
Ketika melanjutkan perjalanan, saya sempat bertanya saat berpapasan dengan orang yang arahnya berlawanan, berapa lama lagi sampai di Kandang Badak. Ternyata jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan lamanya waktu yang sebenarnya kami tempuh. Tapi teringat dengan pengalaman menemukan air terjun panas tadi, aku pun yakin, semua kelelahan dan kesulitan ini akan terbayarkan kembali dengan suguhan alam tak biasa lainnya. Keep going!
Kemudian, setelah melewati air panas, perjalanan yang harus ditempuh lainnya berupa Tanjakan Setan. Kenapa dijuluki seperti itu? Well, kalian bisa liat sendiri penampakannya seperti apa…

(Karena foto ini diambil dari atas, keterjalan tanjakan setan ini terlihat lebih jinak)
Di tanjakan yang super terjal ini, sebelumnya sudah disediakan tali untuk membantu tiba di atas. Penasaran pemandangan di sisi bawah? Tidak lain dan tidak bukan, tentu aja jurang. Hehe.
Oke, yang pertama mencoba tanjakan ini adalah tim cowo, supaya bisa memberikan contoh sekaligus membantu menarik dan mengangkat carrier. Namun sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Setelah semuanya berhasil menaklukan tanjakan setan ini, kami mengambil beberapa foto, ngemil snack, dan santai-santai di atas pohon dengan pemandangan yang superb! Masih inget ga guys kita nongkrong di atas dahan pohon yang bawahnya... jurang?
Mungkin bukan jurang juga, tapi yang jelas, pohon itu ada di ketinggian, yang juga ada di atas atas gunung...

(Berasa burung di atas sangkar...)
Tujuan kami selanjutnya adalah Kandang Badak. Tapi kami harus kembali berpapasan dengan rombongan yang membawa tandu. Ternyata ada yang meninggal di alun-alun Suryakancana karena hipotermia. Innalillahi…
Kami tiba di Kandang Badak sekitar pukul 3 atau 4 sore. Daerah ini digunakan untuk kegiatan berkemah dan pengamatan tumbuhan/satwa. Berada pada ketinggian 2.220 mdpl dengan jarak 7,8 km atau 3,5 jam perjalanan dari Cibodas. Kami mencoba mencari tempat untuk mendirikan tenda yang cukup nyaman untuk bermalam disana. Tapi kebanyakan tempat sudah ditempati dan hanya tersisa daerah yang cukup banyak sampahnya. Disini kadang saya merasa sedih. Hasil ulah manusia yang tidak bertanggung jawab selalu menyisakan sampah. Kemudian teman-teman cowo berpencar untuk mencari spot terbaik dan sisanya beristirahat sementara.
Kami menemukan tempat untuk berkemah yang dekat dengan toilet dan sumber air bersih. Alhamdulillah… Bisa bebas cuci muka, sikat gigi, dan cuci piring tanpa harus hemat persediaan air yang dibawa. Dan airnya dingin, sejuk, seger banget juga. Di sore ini, kami mendirikan tenda. Lalu lelah yang menghampiri tubuh menidurkan kami dan tak terduga hujan turun di malam itu. Yang selanjutnya terjadi… kemah tim cowo bocor, banjir, dan mereka kedinginan. Kami pun langsung mengevakuasi barang-barang seperti carrier, sepatu, dan melapisi bagian atas kemah dengan ponco. Lalu kami membuat makan malam sambil menghangatkan diri di malam yang diguyur hujan itu. Masih inget banget malem itu susah tidur gara-gara kedinginan (selalu telapak kaki yang paling kedinginan padahal udah pake kaos kaki), kemahnya juga lembab, terus pengen buang air kecil tapi takut karena sendirian.
Mari saya jelaskan rencana yang telah dibuat sebelumnya. Gunung Gede berdekatan dengan Gunung Pangrango. Untuk mendapatkan double summit attack, kami berencana untuk bangun jam 4 subuh agar mendapatkan sunrise di salah satu puncaknya. Dan realitanya, kami terbangun pukul 7 atau 8 pagi. Lalu akhirnya bersiap ke puncak Gunung Gede pukul 9. Semua perlengkapan, termasuk kemah yang basah dilap menggunakan 'kanebo' Ebe yang tadinya mau dipakai sebagai handuk hahaha. Sorry Ebe…
Ternyata perjalanan ke puncak Gunung Gede hanya memakan waktu sekitar 2 jam. Sehingga sampailah kami di puncak pukul 11 siang. Ternyata posisi puncak Gunung Gede ini hampir berupa lingkaran, bukan puncak sebuah gunung dengan area yang sempit seperti puncak sebuah segitiga. Puncak Gunung Gede ini memiliki kawah dan menyuguhkan panorama dan atraksi geologi yang menarik. Di puncak ini terdapat tiga kawah yang masih aktif dalam satu kompleks yaitu kawah Lanang, kawah Ratu, dan kawah Wadon. Puncak Gunung Gede berada pada ketinggian 2.958 mdpl dengan jarak 9,7 km atau 5 jam perjalanan dari Cibodas.

(Alhamdulillah, we did it!)

(Kepulan asap salah satu kawah di puncak Gunung Gede)

(Jalan berbatu di ketinggian tertinggi Gunung Gede)

(Tebing di bagian belakang merupakan jalur panjang puncak Gunung Gede)
Dari puncak, destinasi selanjutnya adalah alun-alun Suryakancana, tempat kami beristihat di malam kedua perjalanan ini. Dari puncak Gunung Gede ke Suryakancana, kami tinggal menuruni punggung puncak untuk menyingkap savana yang berada di bawahnya. Saya dan Rangga mendahului penurunan puncak ini sambil menyanyikan lagu Lost Stars yang memang menjadi soundtrack perjalanan kami kali ini. Still remember those feelings when singing that song :')

(We're going to Surken. Turn right!)
Setelah tiba di alun-alun Suryakancana (sebutannya Surken), pemandangan yang masih teringat sampai sekarang adalah luasnya hamparan rumput dan ilalang dengan angin besar yang berhembus dari balik punggung Puncak Gede. Kami seperti disuguhkan lapangan luas dengan beberapa sudut berwarna yang telah dibangun tenda di atasnya. Dataran ini seluas 50 hektar yang berada pada ketinggian 2.750 mdpl dengan jarak 11,8 km atau 6 jam perjalanan dari Cibodas. Sekitar siang menuju sore, kami pun menyebrangi alun-alun ini dan mencari spot terbaik untuk mendirikan tenda.

(Welcome to Alun-Alun Surayakancana. Tadaaaaa! Woozah~)
Setelah berjalan di atas tanah yang berfluktuasi, akhirnya kami menemukan spot yang cocok. Semacam gua yang tidak terlalu dalam yang bisa dipakai sebagai pelindung dari angin-angin kencang yang menyapa. Cool banget ga sih?! Di bawah tempat kami mendirikan tenda, terdapat aliran sungai bersih yang menjadi sumber air minum tim kami (juga untuk mencuci piring dan peralatan lainnya).

(Turun ke aliran sungai di Suryakancana)
Sore pun tiba dan teman-teman pun mendirikan solat berjamaah. Dan ini adalah kali pertama naik gunung dengan kondisi lagi datang bulan. Eww aga ribet dan ga nyaman. Pantes aja aga gaenak hati pas pergi dari Bandung. Tapi alhamdulillah nya semua tetap lancer, selamat, dan seru. Strong girl always find a way :)

(Solat Ashar dengan hembusan angin savana yang kadang menyingkap mukena)
Akhirnya kami semua bisa beristirahat di malam kedua perjalanan ini. Namun, di malam hari angin yang berhembus semakin parah. Angin yang besar dan dinginnya malam menjaga kami untuk tidak terlelap malam itu. Bahkan tenda pun bisa-bisa ikut terbang kalo ga di isi orang di dalamnya. Kegiatan malam itu dihabiskan dengan obrolan-obrolan seputar perjalanan, tindakan yang harus diambil jika ada yang terserang hipotermia, makan snack, menyeduh minuman hangat, dan main kartu juga kalo ga salah. Dan posisi dua tenda kami menghadap ke gua yang di dalamnya digunakan sebagai dapur. Agar api dari kompor tertutup tenda sehingga tidak cepat mati karena angin yang berhembus.
Setelah tertidur, kami bangun pagi sekali keesokan harinya. Udara dingin yang dibawa oleh angin kencang yang berhembus menyapa kami yang masih di dalam tenda. Matahari belum terbit dan kami memutuskan untuk membuat minuman hangat (biasanya energen, kopi, atau teh-teh lucu). Setelah itu kami keluar tenda…

(Manusia gua)

(Manusia-banyak-gaya)
Posisi gua tempat tenda kami berada di bagian atas dari Surken. Aku dan Rangga menyebrang ke bukit sebrang untuk mendapatkan foto-foto siluet dari sunrise. Adry yang membawa kamera memotret kami dari dalam jendela tenda. Selain itu, aku memainkan nunchaku yang dibawa-bawa dari Bandung, terus diliatin sama orang-orang lain dari bawah. Hahaha sekalian bangunin orang-orang, gapapa deh subuh-subuh ribut sendiri :p
Sambil lepas jaket, lepas sarung tangan, sebelum memainkan nunchaku, aku pun melakukan beberapa pergerakan agar tangan dan badan tidak terlalu kaku akibat dinginnya udara di pagi itu.
Setelah main-main subuhnya selesai, kami siap-siap pergi dari Surken pukul 9. Setelah berjalan melalui ujung Surken, kami menemukan padang edelweiss. Disana, beberapa kali kami dilewati oleh kabut tebal dan rasanya seperti berjalan ke ujung langit dengan awan yang menunggu untuk dinaiki.

(Ujung langit!)

(Mandatory post for this epic journey with ma best wildlife buddies!)
Selama bermain-main di padang edelweiss, kabut dan awan yang pekat menghampiri kami beberapa kali sehingga kami memakai masker agar lembabnya udara dingin tidak masuk ke paru-paru. Ternyata dari arah yang berlawanan ada rombongan yang baru menuju Surken. Mereka pasti melalui jalur yang berlawanan dengan kami untuk mencapai puncak. Kalo ga salah, rombongan itu juga sempat bagi-bagi stiker komunitas mereka. Ya seneng-seneng aja sih ada yang ngasih stiker :p

(Bunga abadi <3)
Karena awan yang menghampiri membuat cuaca tiba-tiba berkabut, sebelum hujan turun, kami pun melanjutkan perjalanan pulang sekitar pukul 11 atau 12 siang dengan jalur melewati rangkaian gunung Puteri.
Setelah jalan cukup jauh, kami sudah berada di area hutan tropis kembali. Melakukan beberapa perhentian sambil menghabiskan bekal energen kami. Kompor sengaja disimpan tidak terlalu dalam di carrier salah seorang dari kami. Ternyata aroma energen mengundang kembali lebah. Invasi lebah kedua pun terjadi. Sebenarnya di perjalanan pulang ini, agak sedikit horror. Karena perjalanan melewari hutan ini sepi sekaligus creepy. Sempat terdengar suara-suara yang gatau sumbernya darimana kaya ngikutin dari dalem kerumunan pohon-pohon liar. Brrrrr.
Akhirnyaaaa setelah sabar, kami sampai juga di perumahan desa setempat. Begitu dapet sinyal, HP langsung bunyi-bunyi terutama dari grup Eazy Going yang mana Anan, Vivi, Devi, dan Sanjek menanyakan kabar kami dan khawatir dari berita mengenai kematian pendaki di hari sebelumnya di Gunung Gede (so sweet ya mereka!). Terus sambil jalan, ada anak kecil yang lagi mandi, telanjang, diantara jalan setapak dan sawah. Setelah menertawai anak kecil itu, anehnya, kakiku tiba-tiba lemes terus jatuh tak berdaya di jalan setapak itu. Eh temen-temen lainnya malah ngeliatin terus ngatain sambil ketawa doang….
Udah deh sampelah kami di di pos 1, lapor ke petugas bahwa kami tiba dengan selamat. Alhamdulillah… :D Disana kami menempatkan sampah-sampah selama perjalanan di Gunung Gede. Lalu kehadiran toilet disana kami manfaatkan sebaik-baiknya.
Perjalanan di akhiri dengan menaiki angkot kembali-berhenti di masjid untuk solat-beli snack di Alfamart untuk perjalanan pulang, dan menunggu bis dari waktu ashar hingga magrib. Yang akhirnya, melanjutkan perjalanan dengan angkot dari Simpang Raya ke Cianjur (jam segini bis udah susah didapet). Abis itu naik bis 15ribu per orang ke Bandung. Dilanjutkan dengan charter lagi angkot sampe di rumah ebe tengah malem. Nginep lagi deh di basecamp :D
Selesai.

(See you on the next trip!)
Catatan: Setengah tulisan ini (bagian awal sampe tengah) ditulis udah lama banget, dan baru diselesaikan lagi hari ini, 5 Desember 2017.
I know the conditions have changed, I hope the memories stay. Those are priceless, best for us <3
Let’s just sing this song one more time, play the video on :)
(Like, subscribe and wait for another journey on my channel! :))
Commentaires